jamsostek for indonesia labour

Jamsostek sangatlah berlawan arah dengan kepentingan pekerja/buruh
Jamsostek adalah sebuah perusahan yang bertanggung jawab penuh dengan jaminan sosial tenaga kerja yang di amatkan oleh undang-undang nomor 3 tahun 1992 ternyata menjadi sebuah ancaman yang tidak berpihak kepada tenaga kerja dan anggotanya  undang-undang tentng jamsostek sudah jelas ada empat kretaria programnya di antaranya jaminan kecelakan kerja (JKK),jaminan kematian (JK),jaminan hari tua(JHT),jaminan pemeliharan kesehatan (JPK)  namun kalau kita lihat di secara nyata bahwa ke empat program tersebut adalah mengalami ke gagalan di tambah buruknya pelayanan yang di berikan oleh jamsostek itu sendiri serta
Revolusi industri dan kebangkitan kapital di pertengahan abad 18 berdampak terhadap perubahan ekstrim dalam relasi sosial. Komunitas sosial mulai mengenal hubungan perburuhan formal dan upah sebagai imbalan kerja. Sifat relasi perburuhan yang subordinatif, relasi yang tidak seimbang karena kaum pemodal memiliki otoritas untuk menentukan berlanjut atau tidaknya hubungan kerja, menyebabkan kaum buruh dan keluarganya sama sekali tidak memiliki jaminan sosial jika suatu saat mereka di-PHK, sakit, atau tidak memperoleh pekerjaan. Itu sebabnya dirasa perlu ada jaminan sosial secara ekonomi yang dapat membuat buruh dan keluarganya dapat bertahan hidup jika ia mengalami sakit, kecelakaan kerja, atau pun di-PHK. Kaum buruh, kemudian menganggap perlu adanya campur tangan Negara untuk membangun sistem jaminan sosial. Dan peranan penting para kaum buruh untuk mencari selusi kedepan yang sangat indial jaminan sosial tenaga kerja  di inonesia
Desakan yang dilakukan oleh kaum buruh dan kelompok-kelompok sosial lainnya berhasil mendorong banyak negara untuk memainkan peran aktif dalam membangun sistem perlindungan sosial. Jerman pada masa pemerintahan Kanselir Bismarck adalah negara pertama yang membangun sistem jaminan sosial tahun 1883-1889. Sistem ini diperuntukkan hanya bagi mereka yang memiliki penghasilan, yang dibiayai dari kontribusi buruh dan majikan. Pada tahun 1911, pemerintah Inggris menerapkan sistem jaminan sosial yang juga mencakup manfaat bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Sejak sebelum Perang Dunia II, negara-negara kesejahteraan (welfare-state) sosial-demokrat di wilayah Skandinavia mengembangkan konsep jaminan sosial yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum buruh, tetapi bagi seluruh rakyatnya. Dinyatakan bahwa sistem jaminan sosial dapat dijadikan sarana efektif untuk mengurangi ketidakadilan yang diakibatkan oleh kapitalisme. Inilah yang menjadi latar belakang pemikiran tentang hak sosial setiap orang; bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan dan melindungi hak-hak sosial setiap orang melalui penyediaan akses yang sama atas kebutuhan-kebutuhan dasar sosial. Tahun 1930an, pada masa depresi ekonomi, Amerika Serikat memberlakukan UU Jaminan Sosial. Undang-undang tersebut memberikan jaminan perlindungan sosial terhadap kaum buruh, namun juga menetapkan kewajiban subsidi negara terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Terbukti bahwa sistem dalam UU Jaminan Sosial ini mampu membantu Amerika Serikat mengatasi kekacauan sosial yang timbul akibat depresi ekonomi saat itu.
Saat ini, hampir seluruh negara di dunia memberlakukan jaminan sosial sebagai bagian dari ekspresi tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Bentuk-bentuk jaminan sosial yang diberikan berbeda-beda. Negara-negara maju biasanya mengembangkan sistem jaminan sosial yang terdiri dari kombinasi program jaminan sosial dan bantuan sosial. Jaminan sosial menyediakan manfaat tambahan bagi kaum buruh dan keluarganya yang disediakan saat tidak bisa bekerja (misalnya, saat sakit, melahirkan, atau pun karena lanjut usia dan terkena PHK). Jaminan sosial dibiayai juga oleh kontribusi buruh, majikan, dan negara. Sedangkan program bantuan sosial diadakan melalui anggaran negara yang biasanya dikhususkan bagi kelompok-kelompok tak berdaya dalam masyarakat (misalnya kaum jompo dan penyandang cacat). Bentuk manfaatnya tentu berbeda-beda di tiap negara, tetapi biasanya berupa bantuan untuk pangan, kesehatan, tempat tinggal, bahkan biaya pemakaman. Ada negara yang menyediakan bantuan sosial ini dalam bentuk kupon, tetapi ada juga yang memberikan uang tunai.
Negara-negara berkembang dan miskin memiliki kesulitan lebih besar untuk menyediakan jaminan sosial bagi warganya. Hanya sedikit negara berkembang yang mampu menyediakan program jaminan sosial yang komprehensif. Lainnya terpaksa memfokuskan program jaminan sosial yang ada bagi kelompok tak berdaya (misalnya anak-anak dan kaum jompo), atau pun untuk situasi darurat (misalnya bencana alam, kelaparan, dll). Kesulitan ekonomi, utang luar negeri, atau pun lemahnya kapasitas administrasi menyebabkan kebanyakan negara berkembang kesulitan untuk mengadakan jaminan sosial yang memadai. Namun demikian, baik juga untuk memeriksa alasan-alasan seperti itu secara lebih teliti. Human Development Report 1991 menyatakan bahwa persoalan utama terabaikannya program jaminan sosial sesungguhnya adalah lemahnya komitmen politik, bukan finansial.
Hak atas Jaminan Sosial adalah Hak Asasi Manusia
Mengapa hak atas jaminan sosial dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia? Jawabannya bisa ditelusuri dari pemaknaan sejarah keberadaan hak atas jaminan sosial dalam masyarakat: Hak atas jaminan sosial pada dasarnya berbicara tentang hak hidup. Tidaklah patut jika seseorang dibiarkan mati secara perlahan karena kemiskinan dan ketidakmampuan untuk bekerja demi menghidupi diri sendiri. Hak asasi untuk hidup manusia tidak berhenti pada kemampuan untuk bertahan hidup saja. Setiap manusia berhak untuk memiliki standar kehidupan yang layak, yang menjangkau hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan lain-lain. Dalam lingkup hak asasi manusia, kewajiban untuk memastikan terjaminnya kehidupan yang layak diletakkan pada pundak Negara. Konsep jaminan sosial yang telah dikembangkan sejak puluhan tahun lalu dianggap dapat menolong Negara untuk memastikan terpenuhinya hak asasi atas kehidupan yang layak setiap warganya. Dalam pemahaman yang luas, hak atas jaminan sosial berbicara tentang penjaminan ketersediaan kebutuhan hidup demi pemenuhan standar kehidupan yang layak. Karena itulah hak atas jaminan sosial adalah salah satu bentuk hak asasi manusia di bidang ekonomi dan sosial.
Demikianlah hak atas jaminan sosial sesungguhnya berbicara tentang bentuk kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan hak asasi manusia. Dalam perspektif hak asasi di bidang sipil dan politik, hak atas jaminan sosial mengandung aspek perlindungan hak atas hidup, hak atas keamanan seseorang, dan juga hak atas perlindungan dari siksaan fisik maupun segala bentuk perlakuan tidak manusiawi. Di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas jaminan sosial berbicara tentang pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, perumahan, dll. Karena itu, pelaksanaan program jaminan sosial seharusnya dilakukan dengan pendekatan hak asasi manusia yang didasari prinsip-prinsip berikut:
  1. Cakupan luas, maksudnya program jaminan sosial harus memberi manfaat yang mencakup berbagai hal yang menyebabkan seseorang tidak mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini, misalnya, melingkupi situasi tak bekerja, sakit, usia lanjut, melahirkan, ataupun jaminan hidup bagi anak-anak ketika orang tuanya meninggal dunia.
  2. Universalitas dan anti-diskriminasi, maksudnya dapat menjangkau semua orang yang membutuhkan jaminan sosial, tanpa terkecuali dan tidak mendiskriminasi dengan dasar apa pun termasuk perbedaan ras, jenis kelamin, orientasi seks, agama, pandangan politik, maupun status ekonomi.
  3. Cukup dan layak, maksudnya manfaat jaminan sosial yang diterima seharusnya cukup dan layak. Misalnya, jaminan kesehatan yang diberikan semestinya dapat membiayai kebutuhan pengobatan selayaknya selama dibutuhkan oleh si penderita.
  4. Menghormati hak-hak prosedural, maksudnya adalah aturan dan prosedur untuk mendapatkan manfaat jaminan sosial haruslah diatur sedemikian rupa sehingga adil dan masuk akal. Misalnya saja seseorang yang sedang berada dalam keadaan darurat seharusnya memperoleh akses untuk mendapat pelayanan cepat dan efektif.
Amandemen UUD 1945 pasal 34 ayat (2) menyebutkan, “Negara mengembangkan jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakan lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Sampai hari tulisan ini dibuat, Indonesia belum memiliki sistem jaminan sosial yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Penyediaan jaminan sosial hanya tersedia bagi mereka yang memiliki pekerjaan, baik di sektor swasta maupun di sektor publik. Mereka yang berstatus sebagai buruh sektor informal  swasta berhak untuk diikutsertakan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (biasa disingkat Jamsostek) berdasarkan UU No. 3 tahun 1992. Sedangkan mereka yang berstatus buruh pada sektor publik dan sektor informal baik yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil atau pun anggota militer– secara otomotis diikutsertakan pada skema-skema jaminan sosial yang biasa dikenal sebagai Tabungan Sosial Pegawai Negeri (TASPEN), Asuransi Kesehatan (ASKES), atau Asuransi ABRI (ASABRI). Jaminan sosial yg tersedia dari skema-skema tersebut di atas biasanya berupa jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, atau pun tunjangan hari tua (pensiun).
Kalau melihat undang-undang nomor 40 tahun 2004 ini adalah sangat paradok artinya masih banyak rakyat yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan tapi negara menjamin tentang jaminan sosial bagi rakyatnya namun demikian kalau kita lihat kenyata secara obyekti tidak negara menjamin rakyatnya  Pemerintah mensahkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ini adalah aturan hukum pertama di Indonesia yang mengatur pemberian jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU No. 40 tahun 2004, Negara menyatakan kewajiban hukumnya untuk menyediakan manfaat jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan kematian. Dinyatakan pula bahwa pemberian jaminan kesehatan akan menjadi prioritas utama yang akan dilakukan oleh Negara, sedangkan manfaat jaminan sosial lainnya akan dilaksanakan secara bertahap. Untuk membiayai pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional ini, kaum buruh dan majikan diwajibkan untuk memberi kontribusi dalam bentuk iuran, sementara fakir miskin dan orang tidak mampu ditanggung oleh Negara. Hal yang sesungguhnya tidak asing berlaku dalam konteks negara kesejahteraan, seperti didiskusikan pada bagian awal tulisan ini.
Program sistem jaminan sosial nasional ini direncanakan akan berlaku efektif paling lambat tahun 2009, 5 tahun setelah waktu diundangkannya UU No. 40 tahun 2004. Program ini akan dikelola oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. Dewan ini bertanggung jawab pada Presiden dan beranggotakan 15 orang dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat buruh, dan para ahli. Sebagai tahapan awal, pembiayaan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional akan menggunakan dana yang ada pada skema-skema jaminan sosial pada Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes. Keempat perusahaan pengelola Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes akan dilebur menjadi satu untuk selanjutnya bekerja dalam skema program sistem jaminan sosial nasional seperti diamanatkan dalam UU No. 40 tahun 2004 ini.
Harus diakui bahwa terdapat berbagai pertanyaan dan gugatan tentang pemberlakuan sistem jaminan sosial di Indonesia. Kebanyakan kaum buruh, baik dari sektor publik maupun swasta, memiliki banyak gugatan terhadap pemberlakuan jaminan sosial yang ada sekarang. Misalnya saja, buruh-buruh manufaktur merasa tidak mendapatkan manfaat yang memadai dari keikutsertaannya dalam program Jamsostek. Prosedur klaim manfaat yang berbelit-belit serta minimnya dana yang diberikan merupakan keluhan utama terhadap program ini. Kinerja Pemerintah dalam mengelola program Jamsostek juga menuai kritik pedas, terutama mengenai kronisnya tingkat korupsi di sini. Hal yang sama juga menjadi gugatan dari para pegawai negeri sipil yang merasa kesulitan dalam memperoleh manfaat jaminan sosial dari Taspen maupun Askes.
Tak heran, jika UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juga ditanggapi secara skeptis oleh kaum buruh. Program yang secara ideal hendak menyediakan kompensasi atas berbagai kewajiban ekonomi yang dibebankan pada rakyat kurang mendapat tanggapan yang positif dari rakyat. Salah satu alasan utama yang sering muncul dalam berbagai diskusi adalah terdapatnya ketidakjelasan tentang sistem kerja dan rencana program. Di sisi lain, banyak pihak meragukan keberlangsungan program ini (sustainability) mengingat pengelolaannya diserahkan pada pemerintah yang dianggap belum mampu mengatasi kroniknya korupsi di tubuhnya sendiri. Sampai hari tulisan ini ditulis, berarti sudah lebih dari 2 tahun sejak UU No. 40 tahun 2004 diundangkan, belum ada perkembangan yang berarti tentang bagaimana program ini akan berjalan. Malahan, yang lebih membingungkan, kabarnya saat ini Pemerintah justru mengakomodir keinginan para pemilik modal untuk mengamandemen UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek demi mengalihkan kewajiban membayar pesangon PHK kepada Jamsostek. Lalu, bagaimana relasinya dengan rencana pemberlakuan sistem jaminan sosial nasional yang rencananya akan berdampak pada Jamsostek?
Hak atas jaminan sosial adalah hak asasi manusia. Walau menurut hukum hak asasi manusia yang berlaku secara internasional dimasukkan dalam kelas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, namun sesungguhnya hak atas jaminan sosial juga berbicara tentang kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan hak asasi manusia. Dengan memastikan tersedianya hak atas jaminan sosial, Negara memastikan hak atas hidup –dan pemenuhan standar kehidupan yang layak (decent life standard)– bagi warganegaranya.
Hak atas jaminan sosial juga berbicara tentang kemampuan Negara dalam memahami kewajiban-kewajibannya terhadap warga negara. Dalam konteks globalisasi ekonomi yang menyeret individualisasi dalam setiap aspek kehidupan sosial, Negara diharapkan menjadi salah satu penyedia jangkar kewarasan tanggung jawab bermasyarakat untuk saling memperhatikan dan membantu. Sebagai pengelola sebuah komunitas, Negara diberi mandat dan hak untuk menggunakan kekuatan hukum dalam memastikan bahwa penyediaan sistem jaminan sosial setidaknya memastikan setiap warganegara, semiskin apa pun, tetap dapat menjalankan hidupnya secara bermartabat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberlakuan sistem jaminan sosial di Indonesia adalah urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk itu, sudah saatnya Negara menetapkan prioritas atas pemberlakuan sistem jaminan sosial nasional daripada sekadar mengakomodir kepentingan modal; sudah saatnya negara menjamin secara pasti jaminan sosial tenaga kerja secara kongret kalau tidak persoalan terus menjadi delemah penderitan para kaum buruh/pekerja di seluruh tanah air pada hal buruh adalah hampir 80% ikut membangun bangsa dan memberikan contribusi yang cukup besar kepada perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di negaranya sendiri kalau hal ini di bawah ke ranah benuansa politik maka tidak perna wujud jaminan sosial tenaga kerja di indonesia

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!